Cari Blog Ini

Minggu, 09 Mei 2010

NKRI

NKRI
(Negara Kesatuan Republik Indonesia )




Disusun oleh:

Ridwan Salim
2DB16
31108669
Pendahuluan.
Sejarah lahir dan tumbuh kembang NKRI tidak pernah lepas dari satu nama; “pemuda”. Sejak dari Boedi Oetomo (1908) sebagai Kebangkitan Nasional; Sumpah Pemuda (1928) sebagai kelahiran bangsa Indonesia; Proklamasi Kemerdekaan (1945) sebagai kelahiran negara Indonesia; sampai Gerakan Reformasi (1998) sebagai perjuangan mengembalikan kehormatan bangsa dari otoritarianisme adalah bentuk partisipasi pemuda yang umum dikenal dalam mengawal bangsa ini.
Dalam catatan yang lebih detail, ancaman dari dalam negara seperti peristiwa PKI Madiun para pemuda juga berperan besar. Menanggapi pemberontakan PKI Madiun 18 September 1948, wakil ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro –yang ketika itu juga menjabat sebagai Ketua PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia)– membentukCorps Mahasiswa (CM)di bawah komando Hartono, sedang Ahmad Tirtosudiro sendiri menjadi Wakil Komandan untuk membantu pemerintah menumpas pemberontakan PKI Madiun, dengan mengerahkan anggotanya ke gunung-gunung.
Kurang lebih demikian potret peran pemuda yang terlihat di masa lalu. Sebuah panorama yang tidak lagi banyak ditemukan saat ini. Momen-momen nasionalis di atas, sangat disayangkan tidak lagi banyak mendapat perhatian. Ada kesan penyederhanaan peran pemuda untuk negara kesatuan Republik Indonesia belakangan ini. Asumsi ini mengerucut pada tiga point mendasar: 1] perjuangan yang hanya pada wilayah politik, 2] matinya peran pengetahuan, 3] alergi pada lembaga-lembaga militer dan pihak asing.







Isi
Peran pemuda pemudi Indonesia menjaga NKRI
Banyaknya organisasi-organisasi kepemudaan (OKP) yang memiliki hubungan mesra dengan kekuasaan menjadi penjelas poin pertama di atas. Harus diakui kehadiran beberapa OKP cenderung berjibaku dengan urusan struktural kekuasaan ketimbang kultural. Bahkan tidak jarang mereka mengakui diri sebagai organisasi onderbouw kelompok kepentingan tertentu. Parahnya lagi, beberapa oknum yang terbilang tua, menyebut diri ”pemuda” dalam aksi politiknya.
Ini fakta menyedihkan dalam membaca peran pemuda atas republik belakangan ini. Makna peran yang hanya didefinisikan sebagai partisipasi politik praktis bukan saja sebentuk pengerdilan lingkup peran pemuda. Ia juga menurunkan derajat pemuda dengan menjatuhkan citranya pada haus kekuasaan.
Peran besar pemuda dalam Proklamasi adalah drama heroik nasional yang tidak haus kekuasaan, jarang direnungkan. Dalam episode hari Proklamasi Kemerdekaan misalnya. Ketimbang melantik diri menjadi ”proklamator kemerdekaan”, sosok-sosok pemuda seperti Soekarni dan kawan-kawan lebih memilih menjadikan diri sebagai ”penculik” sang Proklamator (Soekarno-Hatta). Semangat peran pemuda ketika itu tidak dipenuhi oleh syahwat politik, tetapi kesadaran melihat fungsi peran diri untuk NKRI. Tercatat sejarah menjadi ”penculik” pun tidak masalah, jika memang itu yang terbaik untuk bangsa ini. Kurang lebih demikian yang mereka pikirkan.
Konsekuensi lain dari penyempitan peran pada ranah politik kekuasaan adalah matinya peran ilmu pengetahuan. Gambaran peran-peran historis di atas sekali lagi tentu tidak menitikberatkan pada wilayah hasrat kekuasaan. Berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 sebagai titik ”Kebangkitan Nasional” dan Sumpah Pemuda 1928 sebagai titik ”kelahiran Bangsa Indonesia” adalah gerakan yang sukses justeru diuntungkan oleh posisi para pemuda sebagai sosok-sosok terpelajar.
Energi keterpelajaran ini yang mestinya kembali mewarnai peran pemuda dalam menjaga NKRI. Tidak melulu pada ranah kekuasaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) seharusnya dilirik. Salah satu yang strategis adalah penguasaan IPTEK untuk menjawab kondisi geografis Indonesia, yakni di bidang kemaritiman. Pemuda Indonesia diharapkan mengambil peran kepeloporan untuk mengembangkan sains dan teknologi serta industri kemaritiman yang hingga saat ini masih jauh dari ideal.
Pengembangan ke arah tersebut kerapkali terkendala oleh perpspektif keliru dalam memandang karakteristik yang muncul dari kemaritiman Indonesia. Contohnya, laut dan sungai kerapkali dilihat sebagai penghalang yang harus diatasi, padahal laut dan sungai merupakan penghubung dan pemersatu antar pulau. Perspektif keliru inilah yang pertama harus dipecahkan oleh pemuda Indonesia karena telah banyak dianut oleh para pengambil kebijakan di republik ini.
Ada hal aneh di tengah pola pikir pemuda. Anti militer dan anti asing adalah dua isu yang santer terdengar di kalangan aktivis pemuda, padahal pada dasarnya keduanya adalah hal paradoks. Satu sisi, pemuda ”anti asing” dan yang dimaksud tentu saja adalah ”anti intervensi pihak asing”, baik imperialisme (perluasan imperium) maupun kolonialisme (perluasan ekonomi). Sebab, jika yang dimaksud adalah benar-benar ”anti asing” maka sungguh menggelikan. Tidak mungkin sebuah bangsa hidup tanpa interaksi kerjasama dengan negara-negara asing lainnya.
Sisi lain, para pemuda terbawa fobia berlebihan pada militerisme, sehingga melahirkan sikap anti pada segala atribut yang berbau militer. Antimiliterisme pemerintahan adalah sebuah kewajiban, tapi tidak berarti sama dengan anti pada segala atribut militer. Sebab jika militer tidak ada, lalu lembaga khusus apa yang akan menjaga NKRI dari intervensi asing?
Paradoks ini melahirkan kecenderungan pemuda yang acuh tak acuh pada peran ketahanan NKRI. Mereka sendiri yang selalu tegas meneriakkan anti asing, tanpa menawarkan opsi fungsi peran sendiri. Bukan tidak mungkin, sikap seperti ini menghilangkan rasa percaya diri lembaga ketahanan NKRI karena merasa dimusuhi dari dalam, padahal mereka bertaruh nyawa untuk melindungi NKRI dari luar. Tidak adanya hubungan baik pemuda-militer ini, juga bisa menjadi alasan mengapa negara tetangga berani menginjak-injak kehormatan wilayah kedaulatan Indonesia.
Potret kerjasama ABRI dan CM (Corps Mahasiswa) di atas menjadi pola relasi yang seharusnya. Hubungan romantis mahasiswa-militer yang justeru lahir di tengah perang pemberontakan PKI Madiun seharusnya juga mengisi kisah peran pemuda ke depan. Dengan perbaikan hubungan kedua pihak ini, tidak mustahil sekali lagi militer bahkan akan memasang badan untuk pemuda, seperti dikisahkan dalam epik pembubaran HMI pada penggalan teriakan Panca Tunggal Lampung, “Kalau menindak HMI, akan saya kerahkan satu batalyon”.

Satu peristiwa mengejutkan banyak orang terjadi di Maluku beberapa hari yang lalu. Tanpa diduga-duga, serombongan pemuda, sekitar 28 orang, menari-nari di depan rombongan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga dihadiri beberapa tamu negara. Yang jadi masalah, tarian yang dibawakan adalah tarian perang, lengkap dengan tombak dan pedang panjang yang asli –bukan imitasi… dan itu semua terjadi di luar skenario acara.
Ceritanya, Presiden dan rombongan sedang menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional ke-14 di Lapangan Merdeka, persis di depan kantor Gubernur Maluku. Tak lama setelah acara di mulai, tiba-tiba serombongan pemuda tadi memasuki daerah tengah lapangan, berlari-lari membentuk formasi sambil membawa pedang dan tombak sungguhan.
Masalah kemudian muncul ketika rombongan penari yang bertelanjang dada ini mengibar-ngibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) sambil berteriak-teriak dan membagikan selebaran ajakan makar terhadap pemerintah Republik Indonesia. Ironisnya lagi, rombongan penari dengan senjata tombak dan pedang ini bisa masuk ke tengah lapangan dan menari-nari persis belasan meter di depan Presiden RI, rombongan pejabat daerah dan pusat, serta tamu-tamu negara!
Pada jarak sedekat itu mestinya pengamanan seorang kepala negara amat-lah ketat. Istilahnya ini adalah Ring 1. Semestinya tidak sembarang orang bisa ada dalam jarak lingkaran dalam Ring 1. Tapi yang terjadi di Maluku beberapa hari yang lalu adalah justru beberapa puluh pemuda dengan senjata tombak dan pedang tulen bisa menari-nari di dalam Ring 1.
Kemunculan para pemuda ini tentunya tidak tiba-tiba. Jumlah mereka lumayan banyak (sekitar 28 orang). Mereka menggunakan berbagai atribut hiasan di badan, khas penari. Mereka membawa senjata tajam (tombak dan pedang). Seharusnya jika atraksi resmi yang digunakan adalah tombak dan pedang tiruan. Tapi ternyata pihak pengatur acara tidak melakukan koordinasi dengan baik. Buktinya, petugas keamanan tidak tahu kalau rombongan ini adalah ilegal. Artinya, bisa dibilang tidak ada koordinasi soal jadwal dan kelengkapan acara di level pelaksana.


Konon kenekatan mereka melakukan aksi tersebut karena dipicu oleh keinginan adanya pengakuan eksistensi terhadap gerakan mereka (Republik Maluku Selatan). Momen di mana dihadiri oleh Presiden RI dan tamu-tamu negara adalah momen yang sangat bagus, karena pasti aksi ini akan mendapatkan ekspos sampai ke manca negara.
Pemilihan tari cakalele sebagai atraksi yang dipertontonkan oleh rombongan pemuda ini bukan tanpa alasan. Tari cakalele adalah tari perang. Itu artinya, mereka membunyikan genderang perang terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tarian dipakai sebagai bentuk ekspresi pernyataan perang untuk memisahkan diri dari NKRI. Ini juga sekaligus bukti bahwa gerakan separatis di beberapa tempat di tanah air belum sepenuhnya ditumpas habis.
Setiap gerakan separatis yang ada pasti mempunyai asal-usul. Walau sebenarnya di beberapa tempat (seperti RMS di Maluku ini atau OPM di Papua) adalah warisan yang ditinggalkan Belanda sebelum angkat kaki dari bumi Indonesia di tahun 1950-an, tapi tetap saja perlu digarisbawahi juga bahwa mereka tetap tumbuh berkelanjutan karena ada rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Semacam ketidakpuasan karena adanya ketidakadilan dalam pembagian ‘kue’ antara pusat dan daerah. Jadi, upaya-upaya penumpasan gerakan separatis juga harus dibarengi dengan keinginan untuk berbuat lebih adil. Buat saya, NKRI adalah harga mati!

Sekidit informasi dari saya ,
Pada perdebatan calon presiden pada februari 2007. yang bertema “NKRI, Demokrasi, dan Otonomi Daerah, ketiga capres berkomitmen menjaga keutuhan Indonesia.

Capres Megawati Soekarnoputri mengemukakan, Pancasila bukan hanya falsafah bangsa, tetapi juga bintang yang mengayomi kehidupan seluruh rakyat. Menurutnya, Bhinneka Tunggal Ika adalah perekat semua rakyat dan semua kepulauan yang ada di Indonesia.
“Marilah kita kembali kepada jati diri dan harga diri bangsa Indonesia. Hanya karena dengan demikian kita dapat terus mempersatukan NKRI dengan suatu perekat bangsa yang dinamakan azas kegotongroyongan,” ujar Megawati.

Capres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan, keutuhan NKRI sudah final dan harus terus tetap ditegakkan. “Kita bersepakat bahwa NKRI sudah final bagi kita,” ujar SBY.
Menurutnya, Indonesia sudah mempunyai pilar berkehidupan negara yang sangat baik, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Hakekat kemajemukan bangsa Indonesia harus diikat dengan sistem persatuan dan harus diperhatikan ke depan, termasuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan NKRI.

Capres Jusuf Kalla (JK) mengungkapkan, NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI adalah prinsip pokok, hukum, dan harga mati.
Menurut Kalla, NKRI hanya dapat dipertahankan apabila pemerintahan adil, tegas, dan berwibawa. Dengan pemerintahan yang adil, tegas, dan berwibawalah masalah dan konflik di Indonesia dapat diselesaikan. “Demi NKRI, apa pun akan kita lakukan. NKRI adalah hal pokok yang harus kita pertahankan,” tegas Kalla.


Untuk mempersatukan NKRI :

Bahasa sebagai Alat Pemersatu Bangsa

NKRI yang wilayahnya sangat luas dan merupakan negara kepulauan, ± 19.000 pulau, dengan penduduk yang terdiri atas berbagai suku dan bahasa daerah tentu berlatar belakang budaya yang bermacam-macam akan mengalami masalah besar dalam melangsungkan kehidupannya. Perbedaan dapat memecah belah bangsa tersebut. Dengan adanya bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional oleh semua suku bangsa yang ada, perpecahan itu dapat dihindari karena suku-suku bangsa tersebut merasa satu. Kalau tidak ada sebuah bahasa, seperti bahasa Indonesia, yang bisa menyatukan suku-suku bangsa yang berbeda, akan banyak muncul masalah perpecahan bangsa.
Wilayah NKRI berbatasan dengan negara-negara lain, misalnya dengan Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, Filipina, dan Timor Leste. Salah satu yang banyak menimbulkan gesekan adalah di wilayah Batam yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia. Latar belakang budaya yang tidak sama di wilayah perbatasan tersebut dapat mengancam kedaulatan negara dan ketahanan nasional. Berbagai upaya telah dilakukan walaupun belum maksimal dan efektif, sehingga situasi di perbatasan masih rawan. Upaya yang telah dilakukan adalah melalui kekuatan militer dan diplomatik. Selain itu, upaya lain pun harus dicari agar berbagai upaya tadi secara simultan dapat menciptakan keutuhan dan ketahanan nasional semakin mantap.

Komunikasi dan Interaksi Sosial

Dalam memasuki era globalisasi, bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini harus mempersiapkan diri demi kelangsungan hidupnya. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diketahui antara lain, gambaran kehidupan di era globalisasi, tuntutan dan peluang apa saja yang ada di dalamnya dan bagaimana meresponsnya. Untuk itu, perlu diadakan tinjauan budaya untuk mengetahui apakah budaya Indonesia yang ada sekarang ini sudah siap mengahadapi era globalisasi. Budaya yang dapat menghadapi tuntutan seperti itu adalah budaya yang tangguh, sehingga ia dapat menghimpun potensi dari seluruh rakyat yang majemuk untuk menghadapi tantangan dari luar. Semua potensi yang terdapat dalam masyarakat Indonesia hendaknya dapat ditampung dalam wadah yang disebut budaya nasional Indonesia, yaitu budaya yang mengakui kebinekaan yang terdiri atas budaya-budaya etnis


Peran Bahasa dan Budaya dalam Ketahanan Nasional

Negara yang aneka bahasa mempunyai masalah lebih banyak dibanding dengan negara ekabahasa. Pada tataran praktis, kesulitan komunikasi dalam suatu negara dapat menjadi rintangan bagi kehidupan ekonomi dan industri serta gangguan sosial. Beberapa ahli meneliti masalah tersebut dengan menganalisis beberapa negara atas dasar jumlah bahasa dan pendapatan domestik bruto (GDP), yaitu Pool (1972); dan Fishman (1968). Negara yang secara linguistik homogen biasanya secara ekonomi berkembang (maju) dan keseragaman bahasa dan keadaan ekonomi dapat saling mendorong
Apa peran bahasa dalam mempersatukan bangsa? Hal ini diawali dengan mengaitkan bahasa dengan nasionisme dan nasionalisme. Argumentasi yang dikemukakan adalah bahasa yang dapat memegang peran dalam upaya mempersatukan bangsa adalah bahasa Indonesia sebab bahasa Indonesia bersama Pancasila dan kesamaan sejarah merupakan komponen nasional Indonesia. Argumentasi lain (Gunarwan, 2000:51) adalah bahwa bahasa asing, terutama bahasa Inggris mempunyai potensi melemahkan rasa nasionalisme Indonesia. Alasannya adalah bahwa ada anggapan bahasa Inggris lebih bergengsi daripada bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dapat mempengaruhi keterkaitan sentimental orang Indonesia pada bahasa Indonesia.

1. Bahasa sebagai Perekat Persatuan
Tidak semua bahasa yang ada pada suatu negara berperan sebagai pemersatu bangsa. Di Indonesia ada bahasa Inggris dan bahasa daerah yang berpotensi melemahkan persatuan bangsa. Yang dapat berperan sebagai pemersatu bangsa adalah bahasa Indonesia. Implikasinya bahwa bahasa nasional harus terus dipelihara dalam arti bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia terus dilakukan. Di samping peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia oleh orang Indonesia, perlu diperhatikan juga sikap rasa cinta orang Indonesia pada bahasa Indonesia. Pengembangan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang sejajar dengan bahasa-bahasa modern. Bahasa modern memiliki ciri kemudahan dan presisi pengungkapan makna.
Disiplin berbahasa pada orang Indonesia pun masih rendah. Salah satu cara adalah melalui lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Bahkan tanggung jawab pengembangan berbahasa bukan hanya tugas guru atau pengajar bahasa Indonesia tetapi tugas seluruh masyarakat



























Daftar pustaka

 Www.google.com/komisipemilihanumum2009

 www.google.com/PEMANTAPAN KETAHANAN NASIONAL NKRI MELALUI PENDEKATAN KEBAHASAAN.PDF

 www.google.com/NKRI Oleh RahmatZikri

 www.google.com/pengurus-besar-himpunan-mahasiswa-islam