Cari Blog Ini

Rabu, 09 Juni 2010

Visi Indonesia di Tahun 2015

Visi Indonesia di Tahun 2015



Disusun Oleh:

Ridwan Salim
2DB16
31108669
Universitas Gunadarma


Saya tidak tahu apa visi misi dari Negara Indonesia karena memang Negara ini memang seperti tidak memiliki tujuan yang jelas. Misalkan ada tujuan ini hanya sebuah janji-janji yang tidak pernah terwujud.
Banyak sudah janji presiden, seperti janji 100 hari kepemimpinan sby. Pernah kita tahu janji tersebut adalah…………..
Tapi nyatanya apa??? Janji tersebut tidak pernah terwujud . hanya dijalankan pada awal-awalnya saja, kemudian setelah itu janji itu hilang tanpa ada sesuatu yang terwujud. Apakah itu disebut janji??

Pada jaman rassulllullah ciri-ciri orang munafik adalah mengingkari janji. Dengan demikian apakah presiden termasuk orang yang munafik?
Apakah janji-janji hanya sebatas khayalan rakyat Indonesia yang menginginkan untuk hidup bahagia, sejahtera dari penjajah. Jadi untuk apa janji diucapkan jikala hanya sebatas ucapan saja dan tanpa perbuatan yang sungguh-sungguh untuk mewujudkannya?

Sekarang kita kembali ke visi ? visi itu memliki arti . tujuan? Apa tujuan bangsa Indonesia? Saya tahu bahwa kalian bangsa Indonesia sendiri pun banyak yang tidak tahu visi misi Negara ini. Mungkin anda berpikiran sama seperti saya. Untuk apa memikirkan Negara. Toh selama ini mereka tidak memberikan apa apa pada kita, yang diberikan hanya utang Negara yang menumpuk. Dan beban-beban lainnya yang tak kita sadari berdampak dari pemerintahan yang kotor. Korupsi kolusi dan nepotisme banyak sekali dinegara ini.

Ah lelah memikirkan suasana dinegera ini. Apa mungkin Negara ini bisa diperbaiki untuk menjadi Negara yang bersih dari koruptor dan mempunyai rakyat yang hidupnya bahagia dan sejahtera. Itu mungkin saja terjadi, dan kita semua mengharapkan itu benar benar menjadi nyata.

Tapi bagaimana untuk mewujudkannya? Itu lah yang menjadi kendala dinegara ini. Sudah banyak kebiasaan kebiasaan yang sulit untuk dirubah dari pemerintahan ini. Korupsi dan kolusi sudah jadi hal yang biasa.

Sebagai bangsa Indonesia yang saya ingin terjadi ditahun 2015 adalah terjadinya pemerintahan yang bersih dari segala macam bentuk korupsi. Lalu hilangnya kemiskinan diindonesia, lapangan pekerjaan yang tersedia untuk rakyat Indonesia sehingga rakyat tidak usah menjadi tki untuk mencari nafkah.

Banyak tki yang menjadi korban kekeraasan dinegara lain, hanya ini sungguh tragis tki tki kita di pukul,distrika,dan disiksa layaknya bintang.

Ok sekarang mulai untuk pembahasan yang lebih spesifik tentang visi Negara.
Dalam suatu Negara/bangsa, menurut saya memang harus tercantum beberapa Visi yang Universal, seperti :
1. Kebebasan Beragama (Religiositas).
2. Human Rights/HAM. (Kemanusiaan)
3. Persatuan. (Nasionalisme)
4. Kedaulatan dari suatu proses Demokratisasi.(Sovereinitas)
5. Peningkatan Kesejateraan Masyarakat secara adil dan merata (Sosialitas).

Pluralistas sudah masuk dalam Nasionalisme Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika (Pluralisme)

Kebebasan Beragama (Religiositas).
Di Indonesia Haji M Agus Salim, salah seorang tokoh Islam dan pemimpin era 1945-an pernah berkata bahwa Kebebasan Beragama berarti Hak yang sama antara orang yang beragama atau orang yang tidak beragama. Jadi adalah hak seorang WNI untuk menjadi 'kafir' (Skrg sudah ada Jaringan Kafir Liberal) atau 'tidak beragama'. UU sekarang yang justru 'melarang' seseorang menjadi kafir atau Atheis jelas adalah UU yang melanggar konstitusi.


Peningkatan Kesejahteraan yang merata (seperti cita-cita hampir semua bangsa-bangsa) di dunia pun sudah terakomodir di Sila ke-5.

Kemanusiaan, jelas, sudah terakomodir di Sila ke-2 Kemanusiaan Yang Adil dan Merata.

Pancasila adalah DASAR NEGARA, Pedoman Berperilaku, bukan HUKUM. (Hal sebenernya sama dengan Alkitab). Ini yang kurang dipahami.

Masalahnya sekarang ini, banyak orang 'tidak mau mempelajari Pancasila' tapi merasa Pancasila itu salah aja. Kok begitu sih perilakunya ?

Justru di Orde Baru, Pancasila akhirnya 'ikon Politik' ketimbang Pedoman Dasar. Ditafsirkan dan dimaknakan berbeda dengan tafsiran asli-nya, sehingga bahkan tafsiran aslinya Pancasila sudah ngak ada yang mau baca. Makanya saya ngajak kembali untuk mempelajari kembali tafsiran dan makna asli dari Pancasila itu. Kalo terbukti jelek, kita ganti. Kalo terbukti baik, ya kita pertahankan.

Pancasila, bisa kita jadikan DASAR untuk menilai tugas-tugas dari President, misalnya :

1. Apakah sudah terjadi Kebebasan Beragama di Indonesia seperti tercantum dalam Sila KeTuhanan YME ?

2. Apakah terjadi praktek pelanggaran HAM di Indonesia karena Indonesia berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab ?

3. Apakah terjadi Unity in Diversity atau Pluralisme dalam Persatuan di negara ini atau ada usaha-usaha untuk menyeragamkan ?

4. Apakah ada kedaulatan (soverinitas) dan demokrasi di negara ini dengan permusyawarahan (bukan Dominasi Mayoritas ataupun Tirani Minoritas) di Indonesia ?

5. Apakah terjadi pemerataan kesejahteraan sosial di Indonesia ?

Pancasila bisa dijadikan parameter untuk menilai keberhasilan seorang President memimpin negara ini. Kalo rapornya merah dalam tiap poin-poin yang dijabarkan di Pancasila, ya jangan pilih lagi president ini dalam pemilu mendatang.
Memang skrg ini Indonesia lagi UUD (Ujung-ujung Duit), diobok-obok kekuatan asing lagi. Makanya kita terpuruk. Tapi kita harus mulai dari satu titik. Dan saya memilih kita mulai dari memaknai kembali Pancasila. Abisnya mau mulai dari mana lagi?

Masa kita terus-menerus : mengeluh, menyalahkan, meremehkan negara sendiri ?kita lahir, tumbuh dan dapat makan juga dari negara ini, dan sekarang kita hanya menghujat-nya setiap kali ?

Saya bukan seorang super nasionalis, tapi saya sedang berusaha menjadi seorang yang mampu mencintai Ibu Pertiwi.setiap rakyat Indonesia mungkin pernah merasa di dikriminasikan oleh pemerintah. saya sadar bahwa diskriminasi itu tidak sesuai dengan DASAR NEGARA Pancasila dan UUD'45, setelah saya baca ulang apa sih sebenarnya Pancasila dan UUD'45 itu dari beberapa sumber dan beberapa versi.

Ok, apalagi ? (Visi dan Misi Negara mana yang bisa mengalahkan "kesempurnaan" dari Pancasila? )
Saya yakinkan teman-teman di sini, bahwa memang nilai-nilai Pancasila seperti itu memang sejak dari pertama kali seperti ini. Ini bukanlah butir-butir Pancasila hasil rekayasa Rezim Orde Baru (BP7) ataupun Pusat Data ABRI.

Para pendiri negara, sejak dini mencanangkan cita-cita untuk mewujudkan cita-cita—masyarakat yang adil dan makmur. Karena itu, para negarawan tersebut secara implisit menetapkan cita-cita tersebut di dalam sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sekarang, Garis-Garis Besar Haluan Negara saja sudah ditinggalkan.
Cita-cita memang sebuah mimpi, mungkin takkan tercapai seperti yang dikehendaki. Tetapi sebuah mimpi akan menuntun bangsa ini agar terus bergerak ke depan, bukan menoleh ke belakang sehingga terantuk batu. Dalam gemuruh reformasi, kita condong menoleh ke belakang, lupa apa yang ingin kita capai bersama. Setiap orang asyik menikmati kebebasan menyatakan pendapat dan berdemokrasi tanpa memperhatikan rambu-rambu hukum.
Kita perlu menarik pelajaran dari badai pembaruan yang menumbangkan negara Uni Sovyet. Ketika rakyat antri untuk memperoleh sepotong roti, para elit bertarung untuk meraih kekuasaan. Dan dalam slogan yang sangat situasional, selalu muncul slogan lama: rakyat membutuhkan roti, bukan politik. Situasi ini muncul di saat rakyat muak dengan demonstrasi, teriakan di jalanan, konflik dan kekerasan.
Sebaliknya, bilamana rakyat sama sekali buta atau alergi politik, sikap apriori seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Ketika pemerintah Orde Baru tampil di pentas politik, mulai Pemilu tahun 1971 sampai Pemilu 1997, Sekber Golkar muncul dengan slogan yang sangat terkenal: Politics no, development yes. (Tolak politik, terima pembangunan). Anehnya, Golkar yang bukan organisasi politik, dengan slogan tersebut, tampil sebagai pemenang di dalam setiap Pemilu. Depolitisi di masa Orba telah mengebiri hak politik rakyat, sehingga terjadi kelanggengan kekuasaan.
Setelah mengalami erosi dari “politik sebagai panglima” selama rezim Orde Lama (Bung Karno) menjadi “apolitik” di era rezim Orba (Pak Harto), sekarang politik tampil kembali sebagai panglima dalam bingkai superioritas sipil yang menggusur superioritas militer. Namun kebangkitan politik dalam wujudnya yang sangat liberal telah mengguncang dasar negara yang dibangun dengan susah payah.
Eforia politik yang berlebihan bisa menggoyahkan dasar negara, yaitu Pancasila yang sampai sekarang dikesankan antara ada dan tiada. Mereka yang bertolak dari titik pandang sinisme, menganggap Pancasila telah terkubur, sehingga muncul cemoohan: “India dan China tidak memiliki Pancasila, tetapi bisa maju.” Pandangan ini menyiratkan konotasi negatif seolah-olah Pancasila itu penghambat kemajuan.
Tidak hanya cendekiawan atau aktivis yang berani meninggalkan Pancasila. Di antara para pemimpin dan partai mereka, juga muncul kecendrungan untuk memperjuangkan ideologi dan visi mereka masing-masing. Tak heran jika muncul berbagai gagasan negara federalis, fundamentalis agama, sekularis, sosialis dan mungkin juga komunis baru.
Di depan mata sekelompok pemikir muda yang menggunakan Marxisme sebagai pisau analisis, Pancasila hanyalah sebuah ideologi yang tidak punya roh dan jiwa. Sedangkan para negarawan tersebut menjadikan Pancasila bukan hanya sebagai ideologi dan dasar negara, tetapi juga pandangan (vision) hidup bangsa. Karena di dalamnya terkandung visi Ketuhanan dan spiritualitas, visi kemanusiaan dan universalitas, visi persatuan dan kebangsaan, visi demokrasi perwakilan dan musyawarah, bukan demokrasi langsung dan pemungutan suara (voting), visi kesejahteraan lewat perekonomian kerakyatan, bukan ekonomi pasar bebas. Jelas telah terjadi penyimpangan terhadap visi negara menuju pencapaian cita-cita masyarakat adil dan makmur.
Dewasa ini, amatlah naif bilamana pimpinan legislatif atau eksekutif mencari-cari visi di dalam melaksanakan kekuasaan negara sesuai dengan visi partainya, golongannya, bahkan visi pribadinya. Tidak heran bilamana sering muncul pertanyaan: Negara ini mau dibawa ke mana? Pertanyaan itu tidak perlu muncul bilamana para pengelola negara melaksanakan visi negara yang tercantum di dalam Pancasila. Soalnya, bagi mereka yang menempuh jalan liberal, faham Pancasila hanyalah hasil rumusan pemikiran para pemimpi.
Bisa difahami bilamana ada tudingan bahwa kemenangan demokrasi liberal dalam empat kali amandemen UUD 1945, telah membelokkan arah perjalanan negara. Sistem demokrasi liberal, ekonomi pasar dan gagasan negara federal yang secara de facto tercermin di dalam otonomi daerah khusus dan otonomi daerah umum, jelas menyimpang dari visi Pancasila. Karena itu, pernah muncul desakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945 sebelum diamandemen.
Namun pembelokan visi dan arah perjalanan negara tersebut semestinya dibicarakan oleh MPR, lembaga tertinggi negara yang perannya sudah banyak dilucuti oleh empat amandemen UUD 1945. Dan semua komponen bangsa tidak lagi beradu pendapat lewat debat kusir apalagi adu otot. Supaya tidak ada lagi kekuasaan yang dimanipulasi untuk kepentingan kelompok atau partai sendiri.
Memasuki usia 61 tahun kemerdekaan sudah banyak waktu, energi, harta dan nyawa yang terbuang sia-sia untuk berdebat, berkelahi dan saling membunuh di dalam tarik menarik ideologi dan kekuasaan. Apalagi di era demokrasi liberal sekarang ini, setiap orang berlomba-lomba mendirikan partai politik untuk mengejar mimpi menjadi Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, DPR, DPD, Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota.
Keberhasilan yang sekarang dinikmati oleh negara-negara maju bermula dari sebuah mimpi. Para pemimpinnya secara konsisten dan terus menerus mengejar mimpi atau cita-cita yang diletakkan oleh para pendahulu mereka. Pernyataan yang sangat terkenal dari mendiang Presiden John F. Kennedy: “Kesetiaan kepada partai berakhir ketika kesetian pada negara dimulai.” Jadi bagaimana pun seorang presiden harus menjalankan visi negaranya.
Generasi baru yang cerdas berpolitik malah menganggap visi dan cita-cita bangsa seperti sebuah foto buram dalam bingkai yang retak. UUD 1945 telah mengalami distorsi. Visi dan cita-cita kemerdekaan seperti yang didengungkan Bung Karno, “jembatan emas menuju masyarakat yang adil dan makmur,” telah kehilangan bentuk dan maknanya.
Sekarang, cita-cita tersebut malah ditertawakan, karena masyarakat adil dan makmur dianggap tidak akan terwujud di dunia, hanya ada di sorga.(Berita Indonesia 24)

Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Sasaran Pembangunan Milenium pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs.



Visi Negara mungkin di tentukan oleh bagaimana kinerja dari seorang persiden.
Seorang presiden tentunya memiliki tujuan-tujuan ke depan untuk Negara yang di pimpimnya.
program kerja 100 Hari Presiden SBY-Boediono.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung, menilai Program 100 Hari pemerintah gagal terlaksana. Bukan hanya itu, pemerintah juga dinilai gagap mengantisipasi sejumlah hal seperti perdagangan bebas ASEAN-China.

"Program-program tak bisa berjalan baik," kata Akbar dalam diskusi di Megawati Institute, Jakarta, Rabu 3 Februari 2010. "Banyak program tidak fokus dan tidak menjawab masalah di masyarakat," ujarnya.

Problemnya, kata Akbar, bukan pada pelaksanaannya namun karena memang Program 100 hari sulit dijalankan. "Dari 45 disederhanakan jadi 15, tapi tetap saja sulit dalam 100 hari dilaksanakan," kata mantan Menteri Perumahan Rakyat itu.

Kalau pun ada yang menonjol, ujar Akbar, hanyalah kinerja Satuan Tugas Antimafia Hukum. Satgas yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto itu pernah mendatangi sel tahanan Artalyta Suryani. "Tapi tampaknya itu hanya gebrakan saja. Tiga hari ini, kita belum lihat lagi gebrakannya," ujar Akbar. Artinya, Akbar melihat aksi itu bak pencitraan kesungguhan pemerintah menjalankan program 100 hari saja.

Masyarakat dinilai Akbar tak paham program 100 hari itu. Selain karena dinilai tidak menjawab langsung problem rakyat, juga karena tidak fokus satu sama lain. "Kedua, sosialisasi program tidak intensif," ujarnya.

Ketiga, tolak ukur kesuksesan program tidak jelas. Parameter berhasil atau tidak, tak kelihatan. "Seharusnya kalau ada tolak ukur jelas, masyarakat bisa menilai," kata Akbar.

Keempat, program ini hendaknya bisa jadi landasan dalam menjalankan program jangka panjang dan jangka menengah, namun ternyata tidak. Kelima, terkait ekonomi, Akbar menilai pemerintah kurang aktif terhadap isu yang berkembang. "Pemerintah kurang antisipatif terhadap isu perdagangan bebas," kata Akbar.



Pada intinya untuk mewujudkan visi sasaran pembagunan Negara Indonesia terwujud pada tahun 2015 sangatlah sulit. Itu dikarenakam pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar.
Program-program MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs.

Menurut Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Don K Marut Pemerintah Indonesia perlu menggalang solidaritas negara-negara Selatan untuk mendesak negara-negara Utara meningkatkan bantuan pembangunan bukan utang, tanpa syarat dan berkualitas minimal 0,7 persen dan menolak ODA (official development assistance) yang tidak bermanfaat untuk Indonesia.
Menanggapi pendapat tentang kemungkinan Indonesia gagal mencapai tujuan MDGs apabila beban mengatasi kemiskinan dan mencapai tujuan pencapaian MDG di tahun 2015 serta beban pembayaran utang diambil dari APBN di tahun 2009-2015, Sekretaris Utama Menneg PPN/Kepala Bappenas Syahrial Loetan berpendapat apabila bisa dibuktikan MDGs tidak tercapai di 2015, sebagian utang bisa dikonversi untuk bantu itu. Pada tahun 2010 hingga 2012 pemerintah dapat mengajukan renegosiasi utang.

Beberapa negara maju telah berjanji dalam konsesus pembiayaan (monetary consensus) untuk memberikan bantuan. Hasil kesepakatan yang didapat adalah untuk negara maju menyisihkan sekitar 0,7 persen dari GDP mereka untuk membantu negara miskin atau negara yang pencapaiannya masih di bawah.
Namun konsensus ini belum dipenuhi banyak negara, hanya sekitar 5-6 negara yang memenuhi sebagian besar ada di Skandinavia atau Belanda yang sudah sampai 0,7 persen.







































Daftar Pustaka


http://id.wikipedia.org/wiki/Sasaran_Pembangunan_Milenium

http://www.beritaindonesia.co.id/visi-berita/kembali-ke-visi-negara

http://www.akupercaya.com